Selasa 19 Juni 2007 merupakan hari bersejarah karena bahan bakar buatan Lapan mampu melesatkan roket ke jarak puluhan kilometer. Peluncuran roket yang sedianya dilakukan pada pukul 09.00 WIB ditunda. Hadirin yang sejak pagi menunggu di tempat peluncuran satu per satu pergi. Padahal, hari itu merupakan hari penting bagi dunia pengembangan roket nasional. Pasalnya, Lapan hendak memamerkan salah satu roketnya yang akan diluncurkan dengan menggunakan bahan bakar buatan sendiri
Peluncuran roket akhirnya jadi dilaksanakan setelah Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Slamet Subijanto datang ke Instalasi Uji Terbang Pameungpeuk menggunakan jalan darat. Mulai pukul 13.00 WIB satu per satu roket Lapan melesat ke angkasa, meninggalkan jejak asap dan suara gemuruh keras.
Sekilas, peluncuran roket percobaan hari itu tampak seperti ratusan percobaan lainnya. Namun, bagi Lapan hari itu merupakan hari bersejarah karena bahan bakar buatan mereka mampu melesatkan roket ke jarak puluhan kilometer. Bahan bakar roket tersebut adalah AP (Ammonium Perchlorate). Para ahli Lapan telah berhasil menguasai formula pembuatan bahan bakar tersebut. Kini lembaga itu sudah berhasil memproduksinya walau masih dalam skala kecil. Sebelum berhasil membuatnya, Lapan selalu menggunakan AP yang diimpor dari luar negeri. Harganya sangat mahal sehingga untuk melakukan uji coba, Lapan tidak bisa menggunakannya dengan leluasa.
Ketergantungan bahan bakar roket terhadap negara lain juga menimbulkan persoalan lain. Negara pengimpor bisa seenaknya menolak penjualan dengan berbagai alasan. Akibatnya, program penelitian dan pengembangan roket nasional sering tergangggu karena bahan bakar.
Sayang, dukungan dana pemerintah belum maksimal. Dengan dana yang ada sekarang ini, Lapan baru sanggup memproduksi AP sebanyak 10 kg/tahun. Padahal, kebutuhan bahan roket lebih dari itu.
Sebagai ilustrasi, untuk roket RX 70 yang berdiameter 70 milimeter, bahan bakar yang diperlukan untuk sekali peluncuran kurang lebih 2 kg AP. Dengan demikian, bahan bakar yang diproduksi Lapan akan habis hanya dengan lima kali uji coba. Padahal, Lapan juga harus terus menguji coba roket-roket yang berukuran lebih besar, yaitu jenis RX 250, RX 150, dan RX 100 yang membutuhkan pasokan bahan bakar lebih besar.
Kepala Pusat Teknologi Wahana Dirgantara Lapan, Yus Kadarusman Markis mengatakan, mau tidak mau Lapan harus menggenjot produksi AP jika ingin menyempurnakan teknologi roket nasional. Namun, persoalannya kembali ke masalah dana.
Jika kita terus mengimpor, dana yang dikeluarkan akan lebih besar. Negara penjual pun suka bersikap seenaknya. Kadang barang pesanan kita telat datang. Pernah kita pesan tabung, sampai tiga tahun tidak datang juga.
Ada dugaan, sulitnya mendapatkan bahan baku untuk membuat roket adalah kekhawatiran negara-negara pengimpor, bahwa teknologi roket akan digunakan untuk kepentingan militer. Negara seperti Australia maupun Amerika Serikat selalu memantau uji coba roket Indonesia.
Ini juga yang menjadi persoalan karena pada dasarnya teknologi roket untuk kepentingan ilmiah dan kepentingan militer tidak berbeda. Lapan sendiri menegaskan bahwa pengembangan teknologi roket nasional adalah untuk kepentingan ilmiah dan kesejahteraan rakyat. "Tapi sebagai warga Negara kita pun wajib membela negara. Kalau diperlukan untuk pertahanan, silakan saja. Tentu bukan kita yang akan membuatnya, tetapi kita serahkan kepada industri dan pelaku pertahanan," kata Kepala Lapan, Adi Sadewo Salatun.
Adi menegaskan, walaupun Lapan sudah berhasil membuat roket kendali, cita-cita Lapan bukanlah membuat peluru kendali, tetapi membuat roket yang bisa mengorbit sendiri. Walaupun diakui olehnya, teknologi roket kendali bisa juga digunakan untuk membuat peluru kendali. "Roket kendali yang kita buat itu untuk kepentingan penginderaan jarak jauh, misalnya untuk memantau cuaca dan iklim," kata Adi.
Laksamana Slamet Subijanto juga membantah bahwa militer akan serta-merta memanfaatkan teknologi roket hasil pengembangan Lapan. Menurut dia, pemanfaatan teknologi ilmiah menjadi teknologi untuk kepentingan militer tidaklah sederhana. Kalau kita mau bicara tentang bagaimana militer akan menggunakan teknologi peluru kendali, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Misalnya, kita harus mengkaji berapa jarak jangkau roket itu karena hal-hal seperti itu yang harus disesuaikan dengan kebutuhan militer.
Sumber: Pikiran Rakyat, 21 Juni 2007
Salam gitsali, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar